Posted by : Unknown
Friday, April 19, 2013
Cerita ini adalah kisah
nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah
laptopnya.
Bacalah, semoga kisah
nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita
harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya
berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg
paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana
namun meriah…..
Ia menjadi pria yang
sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah
dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia
sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di
tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku
mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia
dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa
cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang
kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku
memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah
kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan
walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa
memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga
kami.
Karena dia anak lelaki
satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan
penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu
suamiku mendukungku…
Ia mengaggap Allah belum
mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai
resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering
mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu
berusaha menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan suami ku mereka
berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh
mereka…
Pernah suatu ketika satu
tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur.
Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang
janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit
pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya
siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk
bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku,
aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku
kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya
ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku
melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku
ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi
aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup
rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku.
Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku
menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya
selalu tertutup.
Tangannya melambai,
mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya,
kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku
dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat
wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara
denganku …
“Fis, kenalkan ini Desi
teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari
suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan
dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan
orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara
di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan
& mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan
mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta
ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun
menemaninya.
Tapi ketika di luar adik
ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada
kami yg menjaga abang
disini. Kau istirahat saja. ”
Anehnya, aku tak
diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak
beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya
mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi
tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang
sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak
berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya
Salah ataupun Tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi
meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak
pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku
hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat
membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa
sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi
dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku
membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia
baru saja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil
melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa
kamu memanggilku?”
Ia berkata, ”Besok aku
akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, ”Ia sayang..
aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah
memeegang tiket bukan?”
“Ya tapi aku tak akan lama
disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan
keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”,
jawabnya tegas.
“Mengapa baru sekarang
bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya
penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru
memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah
mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang
menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
”Sekarang aku ingin
seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut
nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan
keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja
dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia
bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum
saja, padahal aku ingin bersama Suamiku, tapi karena keluarganya tidak
menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena Suamiku sangat sayang
padaku.
Kemudian aku memutuskan
agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran
rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral
bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku
pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak.
Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat
riuh keluarga ini.
Malam sebelum
kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke
Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk
erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu,
tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan
ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal
pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih
karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu
sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di
tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya,
aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini,
perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya
apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku,
aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai
kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal
pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan
jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa
sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit
dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah
sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis
aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang
bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin
menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari
rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya
bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku,
aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?”
aku tak tahu..
Sementara suamiku disana,
aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku
akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu
tentang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di
Sabang.
Lebih baik nanti saja
ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku
menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…
Sudah 3 minggu suamiku di
Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi
menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku,
ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah
beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang
diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini.
Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku
pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut
suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi
kami yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi,
kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang
tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan
sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk
ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri
langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium
keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan
tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir,
mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur.
Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah,
Sang Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu
berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega
membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku
sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
***
Aku mendengar suara
mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang
bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian
aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah
yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh
dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa
terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu
saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon
kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita
dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia
menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku
penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota
kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi
orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang
suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu
bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada
yg keras. Suamiku telah berubah..
Bahkan yang membuat ku
kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku
menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat..
sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri,
itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga
suamiku sadar akan prilakunya.
***
Dua tahun berlalu, suamiku
tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini,
kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami
ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap
merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku
simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang
aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku
pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya
penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak
perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya
berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu
aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap
aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam
itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa Yah!” sahutku
dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke
Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”,
sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku
yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak
ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut
saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera
mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih
karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Lima tahun kami menikah
dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg
dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi
dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin
rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan
wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang.
Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya
bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam
kesendirianku..
***
Kami telah sampai di
Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus
berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu &
adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk
ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar
bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar
koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu
kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia,
tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang
tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu,
yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk
disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani
bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya,
orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka
pembicaraan.
“Baiklah, karena kalian
telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara
sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
”Ada apa ya Nek?” sahutku
dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau
telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak
melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu
keguguran!!“.
Aku menangis.. untuk
inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya kami sudah
punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri
anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.”
Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu
semua.
Aku hanya bisa tersenyum
dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu
mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan
pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya
terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat
dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja
berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah
yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau
diceraikan?“
MasyaAllah.. kuatkan hati
ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur
hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu munutupi
masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku
sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
“Fish, jawab!.” Dengan
tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang
tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan
tegas.
Walaupun aku tidak bisa
berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui
bathiniah.
‘’Untuk kebaikan dan masa
depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami..”
Itu yang aku jawab, dengan
kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku
dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan
mereka.
Aku lalu bertanya kepada
suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”
Suamiku menjawab, ”Dia
Desi!”
Aku pun langsung menarik
napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus
saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”
Ayah mertuaku menjawab,
“Pernikahannya 2 minggu lagi.”
”Baiklah kalo begitu saya
akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke
kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata
ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku
langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak
kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya
penyakitku..
Apakah karena ini suamiku
menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke
meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak
cantikkah aku ini?“
Ku ambil sisirku, aku
menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku
memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah
botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini
terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air
mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu
aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi
aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”
Suamiku mengangguk sambil
melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku
rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya,
“mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata,
“sudah malam, kita istirahat yuk!“
“Aku sholat isya dulu baru
aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam
tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami
dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi
orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali
seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu..
***
Malam sebelum hari
pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis
saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah
menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa
salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang
bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari pernikahan telah
tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat
jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat
sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan
pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?”
Kuhapus airmata yang
menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah
jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya
sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar
pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku
dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab
“Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata
itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata
yang berbinar-binar…
“Bisa kamu ulangi apa yang
kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah
mendengar.
Dia mengangguk dan
berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus
wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat
tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil
berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah
wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”..
Kemudian ia mencium
keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan
segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah?
Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku
kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah
berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya,
setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu
adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku
langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta
maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu juga, diangkatnya
badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama,
2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari
bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja
kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa
memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku
hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat
dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba dimasjid,
ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk
berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak
mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini berdebar
kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku
menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku.. Dalam hati
aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.
Tak sanggup aku melihat
mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi
itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat
wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku
langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat
heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi
disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di
musuhi.
Malam ini aku tak bisa
tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku
cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.
Sepertiga malam pada saat
aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki
yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya
Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku
duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang
tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang ke sini, aku
pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail.
Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu
menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang
dengan mama, papa dan juga adik-adikku”
Aku menatapnya dengan
penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia
memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya
Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih
bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah
hilang selama 2 tahun ini..
Suamiku berbisik, “Bunda
kok kurus?”
Aku menangis dalam
kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “Ayah
kenapa tidak tidur dengan Desi?”
”Aku kangen sama kamu
Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku
yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata,
”Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah
dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu,
seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda
dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti
itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin
ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur
dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah
karena ayah terlalu memanjakan bunda..”
Hati ini sakit ketika
difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena
omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai
pasangan seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, “Aku
sudah ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu
setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu?
Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.. Jika aku hanya
mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita
mencintaimu..“
Entah aku harus bahagia
atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam
itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya
beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati
dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun
untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami
pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah
sakit..
Dari kejauhan aku
mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku
basah..
Ketika kubuka mata ini,
kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku
dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia
mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara
yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua
bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”
“Ayah jangan berubah lagi
ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”
Tiba-tiba saja kakiku
sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak
lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan,
berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup,
kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat
suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu
melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika
ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan
dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku :
“Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati
anakmu. Ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui
hubungan kami.
Mengapa engkau fitnah
diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma?
Mengapa engkau sangat
cemburu padaku Ma?
Fikri tetap milikmu Ma,
aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu
mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku..
Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap
sebaliknya..”
***
Setelah ku buka laptop,
kubaca curhatan istriku.
==========================
==========================
=
Ayah, mengapa keluargamu
sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka
ayah..
Mengapa mereka bisa baik
terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku
bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut
dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau
bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan
yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah ?
Aku tak bisa berbicara
tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya
Yah..
Aku diusir dari rumah
sakit.
Aku tak boleh merawat
suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang
sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke
rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal
ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati
lagi..
Ya Allah kuatkan aku,
maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini
padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah
sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri
ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam
kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun
penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini
semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah
dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui, tapi aku tak
boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak
mau diduakan olehmu..
Mengapa harus Desi yang
menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak
rela..
Tapi aku harus ikhlas
menerimanya.
Pagi nanti suamiku
melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk
melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang
terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku.
”Ayah.. aku kangen Ayah..”
Ketikan terakhir yg
diketik oleh sang istri...
=====================================================================================
Penyesalan sang
suami...dan janji yg telah ditepati sang suami utk mengantarkan ke orang tua
sang istri...
=====================================================================================
’’Dan kini aku telah
membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu
sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu
membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu
yang sakit tertusuk duri.’’
Bunda tetap cantik, selalu
tersenyum disaat tidur..
Bunda akan selalu hidup
dihati ayah..
Bunda.. Desi tak
sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda
denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di
creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah
menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam
kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak
menelantarkan Bunda, mungkin Ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda
yang halus..
Sekarang Ayah sadar, bahwa
ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda.. kamu wanita yang
paling tegar yang pernah kutemui..
Aku menyesal telah asik dalam
ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku..
Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang..
’’Maafkan aku, tak bisa
bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku,
karena aku takut menjadi anak durhaka.
Maafkan aku ketika kau di
fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja..
Apakah Bunda akan mendapat
pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti
ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana
Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu
ayah di sini.. Aku mohon..
’’Ayah Sayang Bunda
keren.. :')
ReplyDelete